Rabu, 04 Desember 2013

Pernikahan (Perkawinan) bagian 7

Pernikahan (Perkawinan)
Hukum (Ketetapan/Peraturan)

Pemahaman dan Tafsir Al-Quran
SYARAT SAH PERNIKAHAN

SYARAT SAH PERNIKAHAN
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang dipahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi saw.
Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab lain;
bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.

Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan 'iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.


Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama berdasar sabda Nabi saw : "Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali".

Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang ditujukan kepada para wali:

... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf (QS Al-Baqarah [2]: 232).

Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam Maliki, "Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan ayat di atas tidak ada artinya,"
Ada juga ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan lain-lain yang berpendapat bahwa apabila seorang wanita menikah tanpa wali maka nikahnya sah, selama pasangan yang dikawininya sekufu' (setara) dengannya. Mereka yang menganut paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:

Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (QS Al-Baqarah [2): 234).

Ayat di atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak wanita bebas melakukan apa saja yang baik (bukan sekadar berhias, bepergian, atau menerima pinangan) sebagaimana pendapat yang mengharuskan adanya wali, tetapi termasuk juga menikahkan diri mereka tanpa wali. Di samping itu, kata penganut paham ini, Al-Quran juga (dan bukan hanya sekali) menisbahkan aktivitas menikah bagi para wanita, seperti misalnya firman-Nya,

Sampai dia menikah dengan suami yang lain (QS Al-Baqarah [2]: 230).

Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas yang dijadikan alasan oleh mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali, berbicara tentang para janda, sehingga kalaupun pendapat mereka dapat diterima maka ketiadaan wali itu terbatas kepada para janda, bukan gadis-gadis. Pandangan ini dapat merupakan jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak belakang di atas.

Menurut Quraish Shihab adalah amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena "seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan.

Hal kedua yang dituntut bagi terselenggaranya pernikahan yang sah adalah saksi-saksi.
Quraish Shihab tidak menemukan hal ini disinggung secara tegas oleh Al-Quran, tetapi sekian banyak hadis menyinggungnya. Kalangan ulama pun berbeda pendapat menyangkut kedudukan hukum para saksi. Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan, hanya mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan pernikahan yang dituntut. Sebelum pasangan suami istri "bercampur" (berhubungan seks) atau syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.

Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan berita pernikahan.
Bagaimana kalau saksi-saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan itu? Imam Syafi'i dan Abu Hanifah menilainya sah-sah saja, sedang Imam Malik menilai bahwa syarat yang demikian membatalkan pernikahan {fasakh). Perbedaan pendapat ini lahir dari analisis mereka tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka keagamaan, atau semata-mata tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya perselisihan pendapat. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayat Al-Mujtahid.

Dalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan pernikahan yang ditetapkan melalui undang-undang, namun di sisi lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh agama. Bahkan seandainya kedua saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan yang disaksikannya itu, maka pernikahan tetap dinilai sah dalam pandangan pakar hukum Islam Syafi'i dan Abu Hanifah.

Namun demikian, menurut Quraish Shihab, dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah menurut hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri). Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, sangat sejalan dengan semangat Al-Quran.

Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.


Secara tegas Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar.

Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 4).

Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon istrinya. Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan: Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya, begitu sabda Nabi saw. Walaupun Al-Quran tidak melarang untuk memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS Al-Nisa' [4]: 20). Ini karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan harga seorang wanita. Menurut Al-Quran, suami tidak boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.

Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau istri) telah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat kokoh (QS Al-Nisa' [4]: 20-2l).

Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.

Carilah walau cincin dari besi,
begitu sabda Nabi saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya sedang perkawinan tidak dapat ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya boleh berupa mengajarkan beberapa ayat Al-puran. Rasulullah pernah bersabda : "Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang engkau miliki dari Al-Quran". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Sahal bin Sa'ad).

Adapun ijab dan kabul pernikahan, maka ia pada hakikatnya adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami untuk hidup bersama seia sekata, guna mewujudkan keluarga sakinah, dengan melaksanakan segala tuntunan dari kewajiban. Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat berarti atau paling tidak mewujudkan suatu kewajiban, yakni berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu rumah tangga sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul (penerimaan) dari calon suami.

Untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan Imam Syafi'i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Nabi saw dengan Kalimat Allah, yaitu dengan sabdanya: "Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar kalimat Allah".

Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata) nikah dan zawaj (kawin) yang digunakan Al-Quran.
Imam Malik membolehkan juga kata "memberi" sebagai terjemahan dari kata wahabat sebagaimana disinggung pada pendahuluan. Ulama-ulama ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul yang mengandung "kepemilikan", "penganugerahan", dan sebagainya, karena kata-kata tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak mencerminkan hakikat hubungan suami istri yang dikehendaki oleh-Nya. Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri seseorang kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz mahabat (penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu rel saja kereta tak dapat berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.

Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan menggunakan kata "menikah" yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan pada pendahuluan adalah "menghimpun".

Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu: kebenaran, keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang dipahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi saw.
Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab lain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.

Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan 'iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.

Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama berdasar sabda Nabi saw : "Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali".

Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang ditujukan kepada para wali:

... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf (QS Al-Baqarah [2]: 232).

Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam Maliki, "Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan ayat di atas tidak ada artinya,"
Ada juga ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan lain-lain yang berpendapat bahwa apabila seorang wanita menikah tanpa wali maka nikahnya sah, selama pasangan yang dikawininya sekufu' (setara) dengannya. Mereka yang menganut paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:

Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (QS Al-Baqarah [2): 234).

Ayat di atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak wanita bebas melakukan apa saja yang baik (bukan sekadar berhias, bepergian, atau menerima pinangan) sebagaimana pendapat yang mengharuskan adanya wali, tetapi termasuk juga menikahkan diri mereka tanpa wali. Di samping itu, kata penganut paham ini, Al-Quran juga (dan bukan hanya sekali) menisbahkan aktivitas menikah bagi para wanita, seperti misalnya firman-Nya,

Sampai dia menikah dengan suami yang lain (QS Al-Baqarah [2]: 230).

Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas yang dijadikan alasan oleh mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali, berbicara tentang para janda, sehingga kalaupun pendapat mereka dapat diterima maka ketiadaan wali itu terbatas kepada para janda, bukan gadis-gadis. Pandangan ini dapat merupakan jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak belakang di atas.

Menurut Quraish Shihab adalah amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena "seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan.

Hal kedua yang dituntut bagi terselenggaranya pernikahan yang sah adalah saksi-saksi. Quraish Shihab tidak menemukan hal ini disinggung secara tegas oleh Al-Quran, tetapi sekian banyak hadis menyinggungnya. Kalangan ulama pun berbeda pendapat menyangkut kedudukan hukum para saksi. Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan, hanya mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan pernikahan yang dituntut. Sebelum pasangan suami istri "bercampur" (berhubungan seks) atau syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.

Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan berita pernikahan. Bagaimana kalau saksi-saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan itu? Imam Syafi'i dan Abu Hanifah menilainya sah-sah saja, sedang Imam Malik menilai bahwa syarat yang demikian membatalkan pernikahan {fasakh). Perbedaan pendapat ini lahir dari analisis mereka tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka keagamaan, atau semata-mata tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya perselisihan pendapat. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayat Al-Mujtahid.

Dalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan pernikahan yang ditetapkan melalui undang-undang, namun di sisi lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh agama. Bahkan seandainya kedua saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan yang disaksikannya itu, maka pernikahan tetap dinilai sah dalam pandangan pakar hukum Islam Syafi'i dan Abu Hanifah.

Namun demikian, menurut Quraish Shihab, dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah menurut hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri). Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, sangat sejalan dengan semangat Al-Quran.

Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.

Secara tegas Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar.

Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 4).

Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon istrinya. Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan: Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya, begitu sabda Nabi saw. Walaupun Al-Quran tidak melarang untuk memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS Al-Nisa' [4]: 20). Ini karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan harga seorang wanita. Menurut Al-Quran, suami tidak boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.

Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau istri) telah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat kokoh (QS Al-Nisa' [4]: 20-2l).

Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.

Carilah walau cincin dari besi, begitu sabda Nabi saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya sedang perkawinan tidak dapat ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya boleh berupa mengajarkan beberapa ayat Al-puran. Rasulullah pernah bersabda : "Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang engkau miliki dari Al-Quran". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Sahal bin Sa'ad).

Adapun ijab dan kabul pernikahan, maka ia pada hakikatnya adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami untuk hidup bersama seia sekata, guna mewujudkan keluarga sakinah, dengan melaksanakan segala tuntunan dari kewajiban. Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat berarti atau paling tidak mewujudkan suatu kewajiban, yakni berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu rumah tangga sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul (penerimaan) dari calon suami.

Untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan Imam Syafi'i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Nabi saw dengan Kalimat Allah, yaitu dengan sabdanya: "Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar kalimat Allah".

Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata) nikah dan zawaj (kawin) yang digunakan Al-Quran. Imam Malik membolehkan juga kata "memberi" sebagai terjemahan dari kata wahabat sebagaimana disinggung pada pendahuluan. Ulama-ulama ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul yang mengandung "kepemilikan", "penganugerahan", dan sebagainya, karena kata-kata tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak mencerminkan hakikat hubungan suami istri yang dikehendaki oleh-Nya. Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri seseorang kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz mahabat (penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu rel saja kereta tak dapat berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.

Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan menggunakan kata "menikah" yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan pada pendahuluan adalah "menghimpun".

Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu: kebenaran, keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar