Rabu, 04 Desember 2013

Pernikahan (Perkawinan) bagian 5

Pernikahan (Perkawinan)
Hukum (Ketetapan/Peraturan)
Pemahaman dan Tafsir Al-Quran



PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA

 Al-Quran dalam surat Al-Baqarah (2): 221, melarang perkawinan dengan orang musyrik seperti Firman-Nya,
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. (QS.Al-Baqarah (2): 221)

Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman (QS Al-Baqarah [2]: 221).

Namun ada ayat yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51): ayat 5 yang menyatakan,
Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) sebelum kamu.(QS Al-Ma-idah [5]: 5).

Beberapa ulama menganggap izin tersebut (pada QS. Al- Maidah (5) :5) telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 tersebut di atas. Namun, pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan ulama. Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang membolehkan perkawinan semacam itu, dan menyatakan bahwa walaupun aqidah Ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen tidak sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi Al-Quran tidak menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai orang-orang musyrik.

Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Dengan anggapan bahwa perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat akidahnya dari wanita (jika beragama Islam) dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan melaksanakan syariat agamanya,
Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-kafirun [109]: 6).

Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun Quraish Shihab cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai "wal muhshanat minal ladzina utul kitab". Kata al-muhshnnat di sini berarti wanita-wanita yang selalu menjaga kehormatannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.

Pada akhirnya betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh tidaknya perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl Al-Kitab, namun seperti tulis Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.

Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaidah syar'iyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim (berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya) untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri.

Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan di atas tidak terpenuhi (sebagaimana sering terjadi pada masa kini) maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.

Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan non-Muslim karena di Al-Quran juga tidak ada ayat yang mendukung diperbolehkannya hal tersebut. Ini dikarenakan kekhawatiran terhadap wanita muslim tersebut menjadi terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya. Hal ini wajar akan terjadi, karena suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar