Hari Akhirat
Pemahaman dan Tafsir Al-Quran
Ada dua hal pokok berkaitan dengan keimanan yang mengambil tempat tidak
sedikit dalam ayat-ayat Al-Quran. Pertama adalah uraian serta pembuktian
tentang keesaan Allah SWT; dan kedua adalah uraian dan pembuktian
tentang hari akhir. Perhatikan misalnya:
Mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera
kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk
orang-orang yang saleh. (QS. Aali 'Imran (Ali 'Imran) [3] : 114)
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka
yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran
kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah
[2] : 62)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani, siapa saja diantara mereka
yang beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak
ada kekhawatiran untuk mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS
Al-Ma'idah [5]: 69).
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisaa' (An-Nisa') [4] : 59)
Perhatikan juga sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah yang menyatakan: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia berkata benar atau diam.
Demikian terlihat bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari kemudian. Memang keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir. Hal ini disebabkan keimanan kepada Allah menuntut amal perbuatan, sedangkan amal perbuatan baru sempurna motivasinya dengan keyakinan tentang adanya hari kemudian. Karena kesempurnaan ganjaran dan balasannya hanya ditemukan di hari kemudian nanti.
Banyak redaksi yang digunakan Al-Quran untuk menguraikan hari akhir, misalnya yaum Al-Ba'ts (hari kebangkitan) yaum Al-Qiyamah (hari kiamat),' yaum Al-Fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan), dan masih banyak lainnya.
Al-Quran Al-Karim menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir" saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata "akhirat" yang terulang sebanyak 115 kali. Belum lagi kata-kata padanannya. Ini menunjukkan betapa besar perhatian Al-Quran dan betapa penting permasalahan ini.
Banyak juga sisi dari "hari" tersebut yang diuraikan Al-Quran, dan uraian itu -yang tidak jarang berbeda informasinya; bahkan berlawanan- diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan Al-Quran bermaksud untuk memantapkan keyakinan tersebut -bagian demi bagian serta fasal demi fasal- dalam jiwa pemeluknya. Di sisi lain, banyak pula cara yang ditempuh Al-Quran ketika menguraikan masalah tersebut serta banyak pula pembuktiannya.
Penafsir besar Al-Biqa'i (809-885 H) mengamati bahwa "kebiasaan Allah SWT adalah bahwa Dia tidak menyebut keadaan hari kebangkitan, kecuali Dia menetapkan dua dasar pokok, yaitu qudrat (kemampuan) terhadap segala yang sifatnya mungkin dan pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat diketahui baik yang bersifat kulli (umum) maupun juz'i (rinci). Karena, siapa pun tidak dapat melakukan kebangkitan kecuali yang menghimpun kedua sifat tersebut." Untuk membuktikan hipotesisnya, Al-Biqa'i mengutip surat Al-An'am (6): 72-73.
Walaupun berdasarkan penelitian yang dilakukan Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam rangka menyusun disertasi, apa yang dikemukakan di atas tidak sepenuhnya benar. Namun dapat dikatakan bahwa kebanyakan ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang hari kebangkitan memang sifatnya demikian, apalagi jika dirangkaikan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Penyebutan kedua sifat itu agaknya merupakan argumen singkat menghadapi keraguan atau penolakan kaum musyrik menyangkut hari kiamat yang berdalih: "Apakah Tuhan mampu menghidupkan kembali tulang-belulang dan yang telah menyatu dengan tanah? Apakah Dia mengetahui bagian-bagian tubuh manusia yang telah berserakan bahkan telah bercampur dengan sekian banyak makhluk selainnya?"
Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara rinci seluruh persoalan "hari akhir" yang dikemukakan Al-Quran. Namun, semoga hal-hal pokok yang berkaitan dengannya dapat dikemukakan.
BUKTI-BUKTI KENISCAYAAN HARI AKHIR
Perlukah bukti tentang adanya hari akhir? Kehidupan sesudah mati pasti
adanya. Bukankah makhluk yang termulia adalah makhluk yang berjiwa?
Bukankah yang termulia di antara mereka adalah yang memiliki kehendak
dan kebebasan memilih? Kemudian yang termulia dari kelompok ini adalah
yang mampu melihat jauh ke depan, serta mempertimbangkan dampak kehendak
dan pilihan-pilihannya. Demikian logika kita berkata. Dari sini pula
jiwa manusia memulai pertanyaan-pertanyaan baru. Sudahkah semua orang
melihat dan merasakan akibat perbuatan-perbuatannya yang didasarkan oleh
kehendak dan pilihannya itu? Sudahkah yang berbuat baik memetik buah
perbuatannya? Sudahkah yang berbuat jahat menerima nista kejahatannya?
Jelas tidak, atau belum, bahkan alangkah banyak manusia-manusia baik
yang dicambuk oleh kehidupan dengan cemeti-cemetinya, dan alangkah
banyak pula orang-orang jahat yang disuapi oleh dunia dengan
kenikmatan-kenikmatannya.
Kemah-kemah para perusak sangat menyenangkan. Mereka yang mendurhakai Tuhan (tampak) tenang. Ini semua dilihat oleh mataku, didengar oleh telingaku dan kuketahui sepenuhnya.
Demikian Nabi Ayyub a.s. yang mengalami kepahitan hidup mengeluh kepada Tuhan.
Karena itu, demi tegaknya keadilan, harus ada satu kehidupan baru di mana semua pihak akan memperoleh secara adil dan sempurna hasil-hasil perbuatan yang didasarkan atas pilihannya masing-masing. Itu sebabnya Al-Quran menamai hidup di akhirat sebagai al-hayawan yang berarti "hidup yang sempurna"; dan kematian dinamainya wafat yang arti harfiahnya adalah "kesempurnaan."
Sekian banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan hakikat di atas, antara lain:
Kemah-kemah para perusak sangat menyenangkan. Mereka yang mendurhakai Tuhan (tampak) tenang. Ini semua dilihat oleh mataku, didengar oleh telingaku dan kuketahui sepenuhnya.
Demikian Nabi Ayyub a.s. yang mengalami kepahitan hidup mengeluh kepada Tuhan.
Karena itu, demi tegaknya keadilan, harus ada satu kehidupan baru di mana semua pihak akan memperoleh secara adil dan sempurna hasil-hasil perbuatan yang didasarkan atas pilihannya masing-masing. Itu sebabnya Al-Quran menamai hidup di akhirat sebagai al-hayawan yang berarti "hidup yang sempurna"; dan kematian dinamainya wafat yang arti harfiahnya adalah "kesempurnaan."
Sekian banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan hakikat di atas, antara lain:
Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku dengan
sengaja merahasiakan (waktu)-nya. Agar setiap jiwa diberi balasan (dan
ganjaran) sesuai hasil usahanya (QS Thaha [20]: 15).
Memang ada saja orang-orang yang tidak sabar dan tidak tahan menunggu. Mereka menghendaki agar perhitungan, ganjaran dan balasan diadakan segera -paling tidak di dunia ini juga. Tetapi mereka lupa bahwa hidup dan mati adalah ujian:
(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk
menguji kamu, siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya (QS
Al-Mulk [67]: 2).
Apakah mereka yang ingin segera melihat balasan itu menduga bahwa si pembunuh akan melangkah jika balasan segera ditimpakan kepadanya? Kemudian apakah masih bermakna suatu kebaikan bila segera pula dirasakan kesempurnaan ganjarannya? Jika demikian di mana letak ujiannya?
Manusia dapat menyadari hal-hal di atas. Namun, Al-Quran masih tetap melayani mereka yang ragu dengan menampilkan dalil-dalil yang membungkam mereka. Berikut beberapa di antara dalil-dalil dimaksud.
Pertama, dalam surat Ya Sin (36): 78-83 Allah berfirman,
Dan dia (manusia durhaka) membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya. Dia berkata, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?" Katakanlah (hai Muhammad), "Ia akan dihidupkan oleh yang menciptakannya kali yang pertama (Allah). Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau; maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu (memperoleh bahan bakar darinya). Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi berkuasa untuk menciptakan yang serupa dengan itu? Benar. Dia berkuasa dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. "Sesungguhnya keadaannya apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah," maka terjadilah ia. Mahasuci Dia yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepadaNyalah kamu dikembalikan.
Dan dia (manusia durhaka) membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya. Dia berkata, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?" Katakanlah (hai Muhammad), "Ia akan dihidupkan oleh yang menciptakannya kali yang pertama (Allah). Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau; maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu (memperoleh bahan bakar darinya). Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi berkuasa untuk menciptakan yang serupa dengan itu? Benar. Dia berkuasa dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. "Sesungguhnya keadaannya apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah," maka terjadilah ia. Mahasuci Dia yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepadaNyalah kamu dikembalikan.
Mari kita dengar uraian filosof Muslim, Al-Kindi, tentang kandungan ayat tersebut, sebagaimana dikutip oleh Abdul-Halim Mahmud dalam bukunya At-Tafkir Al-Falsafi Al-Islam (hlm. 73). Menurut Al-Kindi:
Ayat ini menegaskan bahwa:
- Keberadaan kembali sesuatu setelah kepunahannya adalah bisa atau mungkin. Karena menghimpun sesuatu yang telah berpisah-pisah atau mengadakan sesuatu yang tadinya belum pernah ada, lebih mudah daripada mewujudkannya pertama kali. Meskipun demikian, bagi Allah tidak ada istilah "lebih mudah atau lebih sulit". Hakikat ini diungkapkan oleh ayat di atas ketika menyatakan: Katakanlah bahwa ia akan dihidupkan oleh yang menciptakannya kalipertama.
- Kehadiran atau wujud sesuatu dari sumber yang berlawanan dengannya bisa terjadi, sebagaimana terciptanya api dari daun hijau (yang mengandung air). Ini diinformasikan oleh ayat yang berbunyi: Yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau.
- Menciptakan manusia dan menghidupkannya setelah kematiannya, (lebih mudah bagi Allah) daripada menciptakan alam raya yang sebelumnya tidak pernah ada. Ini dipahami dari firman-Nya: Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu?
- Untuk menciptakan dan atau melakukan sesuatu, betapa pun besar dan agungnya ciptaan itu, bagi Tuhan tidak diperlukan adanya waktu atau materi. Ini jelas berbeda dengan makhluk yang selalu membutuhkan keduanya. Hal ini bisa dipahami dari firman-Nya: Jadilah, maka terjadilah ia.
Manusia mana yang mampu dengan fasafah manusia, menghimpun (informasi) dalam ucapan sebanyak huruf-huruf ayat diatas, sebagaimana yang telah dthimpun oleh Allah untuk Rasul-Nya saw.
Demikian komentar filosof Al-Kindi tentang ayat-ayat di atas.
Kedua, lihat misalnya surat Al-Isra' yang menguraikan bagaimana pembuktian tentang kepastian hari kiamat -pada akhirnya ditemukan sendiri melalui tuntunan Al-Quran- oleh mereka yang tadinya meragukannya. Gaya ini digunakan oleh Al-Quran agar manusia merasa bahwa ia ikut berperan dalam menemukan satu kebenaran dan dengan demikian ia merasa memilikinya serta bertanggung jawab untuk mempertahankannya.
(Mereka bertanya), "Apakah bila kami telah menjadi
tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, masih dapat dibangkitkan
kembali sebagai makhluk-makhluk yang baru?" Katakanlah, "Jadilah kalian
batu, atau besi, atau apa saja yang menuntut pikiran kalian lebih
mustahil untuk diciptakan kembali." Maka mereka akan bertanya, "Siapakah
yang akan menghidupkan kami kembali?" Katakanlah, "Yang telah
menciptakan kamu pada kali pertama." Lalu mereka akan menggeng-gelengkan
kepala mereka kepadamu dan berkata, "Kapan itu (akan terjadi)?"
Katakanlah, "Boleh jadi (dalam waktu) dekat" (QS Al-Isra' [17]: 49-51).
Al-Quran -yang bermaksud melibatkan manusia dalam penemuan keyakinan tentang hari kebangkitan ini- tidak menjawab pertanyaan kaum musyrik tadi degan "ya" atau "tidak". Tetapi, diajukan-Nya suatu problem baru yang belum terlintas dalam benak si penanya, yaitu dengan pernyataan yang diperintahkan kepada Nabi saw untuk disampaikan seperti terbaca di atas. Seakan-akan penggalan kata tersebut berbunyi, "Bagaimana seandainya setelah kematian nanti kalian bukan menjadi tulang-belulang yang pernah mengalami hidup, tetapi batu-batu atau besi-besi atau makhluk apa saja yang sama sekali belum pernah mengalami 'hidup' dan menurut kalian lebih mustahil untuk dihidupkan?" Pada saat itu Al-Quran mengajak akal mereka mengajukan pertanyaan yang mereka ajukan semula, "Siapakah yang akan menghidupkan itu semua kembali?" Jawabannya adalah, "Dia yang pertama kali mewujudkannya sebelum tadinya ia tiada." Bukankah mewujudkan sesuatu yang pernah mengalami "hidup" lebih mudah daripada mewujudkan sesuatu yang belum pernah berwujud sama sekali.
Di sini terlihat bahwa problem yang mereka ajukan sudah tidak berarti sama sekali. Bahkan "akal" mereka sendiri kelihatannya telah menyadari kelemahan argumen merreka, sehingga menimbulkan pertanyaan baru.
Ketiga, bertitik tolak dan hakikat di atas, seringkali Al-Quran menganalogikan hari kebangkitan dengan keadaan hujan yang menimpa tanah yang gersang. Surat Al-Hajj menyeru seluruh manusia:
Wahai seluruh manusia, kalau kamu sekalian meragukan
hari kebangkitan, maka (sadarilah bahwa) Kami menciptakan kamu dari
tanah, kemudian nuthfah, kemudian 'alaqah, kemudian mudhgah (sekerat
daging) yang sempurna penciptaannya atau tidak sempurna penciptaannya,
agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan di dalam rahim apa yang
Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan. Kemudian Kami
keluarkan kamu sebagai bayi, dan (secara berangsur-angsur) kamu sampai
kepada (usia) kedewasaan. Di antara kamu ada yang diwafatkan dan ada
pula yang dipanjangkan usianya sampai pikun, supaya (sehingga) dia tidak
mengetahui lagi apa yang tadinya telah diketahui. Dan kamu lihat bumi
itu tandus/mati, kemudian apabila Kami turunkan air (hujan) di atasnya
hiduplah bumi itu dan suburlah ia serta menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah. Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah
adalah Yang Hak, Dia yang menghidupkan yang mati, Dia Mahakuasa atas
segala sesuatu, dan hari kiamat pasti datang. Tidak ada keraguan atasnya
dan Allah membangkitkan semua yang dikubur (QS Al-Hajj [22]: 5-7).
Manusia berasal dari tanah; bukankah makanannya berasal dari tumbuhan-tumbuhan dan binatang yang memakan apa yang terbentang di bumi Allah? Makanan tersebut diolah oleh tubuhnya, sehingga menghasilkan sperma. Pertemuan sperma dan ovum menghasilkan 'alaqah' sesuatu yang bergantung di dinding rahim. Kemudian ini melalui tahap-tahap seperti yang dikemukakan di atas, sehingga akhirnya manusia mati terkubur di bawah tanah atau menjadi tanah lagi. Nah apakah mustahil yang kini menjadi tanah, hidup lagi dengan kehidupan baru? Bukankah sebelumnya ia pun berasal dari tanah? Bukankah sehari-hari terlihat pula tanah yang gersang setelah dicurahi hujan -ditumbuhi pepohonan yang hijau? Kalau demikian mengapa meragukan kebangkitan? Demikian lebih kurang peringatan ayat di atas.
Keempat, kematian sama dengan tidur. Begitu pernyataan Al-Quran.
Allah yang memegang jiwa (orang) saat kematiannya, dan
(memegang) yang belum mati pada saat tidurnya. Maka Dia tahan jiwa
(orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya, dan Dia melepaskan jiwa
yang lain (yang tidur dengan membangunkannya) sampai waktu yang Dia
tentukan ... (QS Al-Zumar [39]: 42).
Untuk membuktikan adanya kebangkitan, Al-Quran
menceritakan apa yang dilakukan Allah terhadap seorang yang
mempertanyakan tentang "bagaimana kebangkitan". Maka ditidurkannya yang
bersangkutan selama seratus tahun, dan Dia menjadikan makanannya tetap
utuh tidak rusak, sedangkan keledainya menjadi tulang-belulang. (Baca QS
Al-Baqarah [2]: 259)
Bahkan sekelompok pemuda yang beriman -yang terpaksa berlindung ke sebuah gua karena khawatir kekejaman penguasa masanya-ditidurkan selama tiga ratus tahun lebih, kemudian dibangunkan kembali oleh Allah. Kisah mereka diuraikan secara panjang lebar dalam surat Al-Kahf (18): 9-26 dan bekas-bekas peninggalan mereka berupa gua tempat persembunyian telah ditemukan beberapa kilometer dari kota Amman, Yordania. Kini gua itu menjadi salah satu objek yang dikunjungi para wisatawan dan peziarah.
Demikian sedikit dari dalil dan bukti-bukti yang dikemukakan Al-Quran untuk menyingkirkan keraguan tentang hari kebangkitan.
KEHIDUPAN DI ALAM BARZAKH
Al-Quran tidak hanya menjelaskan tentang hari akhir, tetapi juga
memberikan sekian banyak informasi menyangkut kejadian-kejadian saat
kematian. kehidupan barzakh, dan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Dengan
kematian, seseorang beranjak untuk memasuki saat pertama dari hari
akhir. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa: Siapa yang meninggal, maka kiamatnya telah bangkit.
Kiamat ini dinamai "kiamat kecil". Saat itu yang bersangkutan dan semua yang meninggal sebelumnya hidup dalam satu alam yang dinamai "alam barzakh". Mereka semua menanti kedatangan kiamat besar, yang ditandai dengan peniupan sangkakala pertama sebagaimana akan diuraikan nanti.
Kiamat ini dinamai "kiamat kecil". Saat itu yang bersangkutan dan semua yang meninggal sebelumnya hidup dalam satu alam yang dinamai "alam barzakh". Mereka semua menanti kedatangan kiamat besar, yang ditandai dengan peniupan sangkakala pertama sebagaimana akan diuraikan nanti.
Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka
merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di
waktu sore atau pagi hari. (QS. An-Naazi'aat (An-Nazi'at) [79] : 46)
... sehingga apabila datang kematian kepada seorang di
antara mereka (yang kafir) ia berkata: "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku,
agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan." (Allah
berftrman), "Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu hanyalah perkatan yang
diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh (pemisah) sampai
hari mereka dibangkitkan" (QS Al-Mu'minun [23]: 99-100).
Dari segi bahasa, "barzakh" berarti "pemisah". Para ulama mengartikan alam barzakh sebagai "periode antara kehidupan dunia dan akhirat". Keberadaan di sana memungkinkan seseorang untuk melihat kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan di sana bagaikan keberadaan dalam suatu ruangan terpisah yang terbuat dari kaca. Ke depan penghuninya dapat melihat hari kemudian, sedangkan ke belakang mereka melihat kita yang hidup di pentas bumi ini.
Hadis-hadis Nabi pun -dengan kualitas yang beraneka ragam- amat banyak yang berbicara tentang alam barzakh, sehingga amat riskan untuk menolak keberadaan alam itu hanya dengan menggunakan satu atau dua ayat yang sepintas terlihat berbeda dengan keterangan-keterangan tersebut. Ketika putra Nabi yang bernama Ibrahim meninggal dunia, Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya ada yang menyusukannya di surga (HR Bukhari).
Imam Ahmad ibn Hanbal, Ath-Thabarani, Ibnu Abi Ad-Dunya, dan Ibnu Majah meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Abu Said Al-Khudri, bahwa Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya yang meninggal mengetahui siapa yang memandikannya, yang mengangkatnya, yang mengafaninya, dan siapa yang menurunkannya ke kubur.
Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa,
Apabila salah seorang di antara kamu meninggal, maka diperlihatkan kepadanya setiap pagi dan petang tempat tinggalnya (kelak di hari kiamat). Kalau dia penghuni surga, maka diperlihatkan kepadanya (tempat) penghuni surga; dan kalau penghuni neraka, maka diperlihatkan (tempat) penghuni neraka. Disampaikan kepadanya bahwa inilah tempatmu sampai Allah membangkitkanmu ke sana (HR Bukhari).
Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya menuturkan sebuah riwayat bahwa Nabi saw setelah selesainya Perang Badar, menuju tempat pemakaman pemuka-pemuka kaum musyrik yang tewas ketika itu, dan memanggil nama-nama mereka satu per satu:
"Wahai penghuni al-qalib (sumur atau kubur). Hai 'Utbah bin Rabi'ah. Hai Syaibah bin Rabi'ah. Hai Umayyah bin Khalaf. Hai Abu Jahl bin Hisyam. Apakah kalian telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhan kalian dengan benar? Karena sesungguhnya aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku dengan benar." Kaum Muslim yang ada di sekitar Nabi bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau memanggil/berbicara dengan kaum yang telah menjadi bangkai (mati)?" Beliau menjawab: "Kamu tidak lebih mendengar dari mereka (tentang) apa yang saya ucapkan, hanya saja mereka tidak dapat menjawab saya."
Di sisi lain Imam Muslim meriwayatkan bahwa Masruq berkata:
"Kami bertanya (atau aku bertanya) kepada Abdullah bin Mas'ud tentang ayat, Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah adalah orang-orang mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapatkan rezeki (QS Ali 'Imran [2]: 169)." Abdullah bin Mas'ud berkata: "Sesungguhnya kami telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw, dan beliau bersabda, 'Arwah mereka di dalam rongga burung (berwarna) hijau dengan pelita-pelita yang tergantung di 'Arsy, terbang dengan mudah di surga ke manapun mereka kehendaki, kemudian kembali lagi ke pelita-pelita itu. Tuhan mereka "mengunjungi" mereka dengan kunjungan sekilas dan berfirman: "Apakah kalian menginginkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Apalagi yang kami inginkan sedangkan kami terbang dengan mudahaya di surga, ke mana pun kami kehendaki?" Tuhan melakukan hal yang demikian terhadap mereka tiga kali dan ketika mereka sadar bahwa mereka tidak akan dibiarkan tanpa meminta sesuatu, mereka berkata: "Wahai Tuhan, kami ingin agar arwah kami dikembalikan ke jasad kami sehingga kami dapat gugur terbunuh pada jalan-Mu (sabilillah) sekali lagi. Setelah Tuhan melihat bahwa mereka tidak memiliki keinginan lagi di sana (lebih dari apa yang mereka peroleh selama ini) maka mereka dibiarkan."'
Ada juga riwayat yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib bahwa beliau bertanya kepada Yunus bin Zibyan: "Bagaimana pendapat orang tentang arwah orang-orang mukmin?" Yunus menjawab: "Mereka berkata bahwa arwahnya berada di rongga burung berwarna hijau di dalam pelita-pelita di bawah 'Arsy llahi." Ali bin Abi Thalib berkomentar:
Mahasuci Allah. Seorang mukmin lebih mulia di sisi Allah untuk ditempatkan ruhnya di rongga burung hijau, wahai Yunus. Seorang mukmin bila diwafatkan Allah, ruhnya ditempatkan pada satu wadah sebagaimana wadahnya ketika di dunia. Mereka makan dan minum, sehingga bila ada yang datang kepadanya, mereka mengenalnya dengan keadaannya semasa di dunia.
Boleh jadi ada saja yang bertanya bagaimana kehidupan itu? Kita tidak dapat menjelaskan. Memang ada saja yang berusaha mengilmiahkan kehidupan di sana, tetapi agaknya hal tersebut lebih banyak merupakan kemungkinan, walaupun ada sekian riwayat yang dijadikan pegangan.
Mustafa Al-Kik, misalnya, berpendapat bahwa manusia memiliki "jasad berganda": pertama, jasad duniawi; dan kedua, jasad barzakhi. Mustafa dalam --Baina 'Alamain-- setelah mengutip sekian banyak pendapat ulama tentang hal di atas, berusaha untuk menjelaskan hal tersebut dengan teori frekuensi dan gelombang-gelombang suara. Contoh konkret yang dikemukakannya adalah radio yang dapat menangkap sekian banyak suara yang berbeda-beda melalui gelombang yang berbeda-beda. Walaupun ia saling masuk-memasuki, namun ia tidak menyatu dan tetap berbeda. Ini pula yang menjadikan kita tak dapat melihat sesuatu yang sebenarnya "ada" namun kita tak melihatnya akibat perbedaan frekuensi dan gelombang-gelombang itu. Apa yang dikemukakan ini -menurutnya sejalan dengan informasi Al-Quran, antara lain yang berbicara tentang keadaan seorang yang sedang sekarat:
Maka mengapa ketika nyawa telah sampai ke kerongkongan,
padahal kamu ketika itu melihat (yang sekarat), sedangkan (malaikat)
Kami lebih dekat kepadanya darimu, tetapi kamu tidak melihat (QS
AlWaqi'ah [56]: 83-85).
Atau firman-Nya:
Aku (Allah) tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).
Atau firman-Nya:
Aku (Allah) tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).
Kedua ayat mulia di atas mengemukakan teori gelombang dan getaran yang sangat jelas dan gamblang. Keduanya telah membagi materi menjadi dua macam, yang sejalan dengan tingkat bumi sehingga dapat dilihat oleh mata, dan yang tidak sejalan karena tingginya gelombangnya, sehingga tersembunyi dari pandangan dan tidak terlihat oleh mata. Dengan demikian kedua ayat tersebut menunjuk ke alam materi yang terasa oleh kita semua, dan alam lain yang tinggi yang tersembunyi dari mata kita. (Mustafa Al-Kik dalam Baina 'Alamain hlm. 51)
Akhirnya betapa pun terdapat sekian banyak ayat dengan penafsiran-penafsiran di atas, serta ada pula riwayat-riwayat dari berbagai sumber dan kualitas, namun kita tidak dapat mencap mereka yang mengingkari kehidupan barzakh. Ini disebabkan karena akidah harus diangkat dari nash keagamaan yang pasti, yaitu Al-Quran dan maknanya pun harus pasti. sedangkan penafsiran-penafsiran yang dikemukakan di atas belum mencapai tingkat kepastian yang dapat dijadikan akidah.
KEHIDUPAN AKHIRAT
Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan sangkakala:
Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan
diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali
bentur. Maka hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit
sehingga hari itu langit menjadi lemah (QS Al-Haqqah [69]: 13-16).
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:
... dan ditiup sangkakala sehingga matilah siapa
(makhluk) yang di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki
Allah (QS Al-Zumar [39]: 68).
Yang dikecualikan antara lain adalah malaikat Israfil yang bertugas meniup sangkakala itu. Ini karena masih akan ada peniupan kedua sebagaimana lanjutan ayat di atas:
Kemudian ditiupkan sangkakala itu sekali lagi, maka
tiba-tiba mereka (semua yang telah mati) berdiri menunggu (putusan Tuhan
terhadap masing-masing) (QS Al-Zumar [39]: 68).
Banyak sekali ayat Al-Quran yang berbicara tentang kehancuran alam raya, matahari digulung, bulan terbelah, bintang-bintang pudar cahayanya, gunung dihancurkan sehingga menjadi debu yang beterbangan bagaikan kapas, dan sebagainya. Itu semua merupakan kehancuran total, bukan kehancuran bagian tertentu saja dari alam raya ini.
Ada jarak waktu antara peniupan pertama dan kedua. Hanya Allah yang mengetahui kadar waktu itu. Dan ketika semua makhluk telah meninggal, termasuk Israfil, Allah SWT "berseru" dan "bertanya":
Kepunyaan siapakah kerajaan/kekuasaan hari ini?
(Kemudian Allah menjawabnya sendiri): "Kepunyaan Allah yang Maha Esa
lagi Maha Mengalahkan" (QS Mu'min [40]: 16).
Saat peniupan kedua, manusia sadar bahwa kehidupan di dunia hanya sebentar (QS Al-Isra' [17]: 43) bahkan mereka merasa hanya bagaikan beberapa saat di sore atau pagi hari (QS Al-Nazi'at [79]: 46).
Dari sana manusia digiring ke mahsyar (tempat berkumpul untuk menghadapi pengadilan Ilahi):
Setiap jiwa datang dengan satu penggiring dan satu penyaksi (QS Qaf [50]: 21).
Saat peniupan kedua, manusia sadar bahwa kehidupan di dunia hanya sebentar (QS Al-Isra' [17]: 43) bahkan mereka merasa hanya bagaikan beberapa saat di sore atau pagi hari (QS Al-Nazi'at [79]: 46).
Dari sana manusia digiring ke mahsyar (tempat berkumpul untuk menghadapi pengadilan Ilahi):
Setiap jiwa datang dengan satu penggiring dan satu penyaksi (QS Qaf [50]: 21).
Penggiring adalah malaikat dan penyaksi adalah diri manusia sendiri yang tidak dapat mengelak, atau amal perbuatannya masing-masing. Begitu penafsiran para ulama.
Dan ketika itu terjadilah pengadilan agung.
Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah
lidah, tangan, dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka
lakukan (QS Al-Nur [24]: 24).
Bahkan boleh jadi, mulut mereka ditutup dan yang berbicara adalah tangan mereka kemudian kaki mereka yang menjadi saksi-saksinya Sebagaimana ditegaskan dalam surat Ya Sin (36): 65.
Bahkan boleh jadi, mulut mereka ditutup dan yang berbicara adalah tangan mereka kemudian kaki mereka yang menjadi saksi-saksinya Sebagaimana ditegaskan dalam surat Ya Sin (36): 65.
Yang ingin diinformasikan oleh ayat-ayat di atas dan semacamnya adalah bahwa pada hari itu tidak ada yang dapat mengelak, tidak ada juga yang dapat menyembunylkan sesuatu di hadapan pengadilan yang maha agung itu.
Siapa yang mengerjakan (walau) sebesar zarrah (dari kebaikan). maka dia akan melihat (ganjarannya) (QS Az-Zilzal [99]: 7).
Demikian pula sebaliknya (baca surat Al-Zilzal [99]: 8).
Pengadilan Ilahi itu akan diadakan terhadap setiap pribadi mukalaf,
"Tidak ada satupun di langit dan di bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Tuhan telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri (QS Maryam [19]: 93-95)
Demikian pula sebaliknya (baca surat Al-Zilzal [99]: 8).
Pengadilan Ilahi itu akan diadakan terhadap setiap pribadi mukalaf,
"Tidak ada satupun di langit dan di bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Tuhan telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri (QS Maryam [19]: 93-95)
Pengadilan itu menggunakan "timbangan" yang hak sehingga tidak ada yang teraniaya karena walau sebesar biji sawi pun Tuhan akan mendatangkan ganjarannya. (Baca QS Al-Anbiyat [21]: 47). Apakah timbangan itu sesuatu yang bersifat material atau hanya kiasan tentang keadilan mutlak, tidaklah banyak pengaruhnya dalam akidah, selama diyakini bahwa ketika itu tidak ada lagi sedikit penganiayaan pun. Yang pasti adalah:
Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Barangsiapa
yang berat timbangan (amal salehnya) maka mereka adalah orang-orang
beruntung, dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka itulah
orang-orang yang merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Kami (QS Al-A'raf [7]: 8-9)
Hasil pencatatan amal manusia yang ditimbang itu, akan diserahkan kepada setiap orang:
Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab
(catatan amalnya) dari arah kanannya, maka (dengan gembira) ia berkata:
"Inilah, bacalah kitabku ini. Sesungguhnya (sejak dahulu di dunia) aku
yakin bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab (perhitungan) atas
diriku." Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai; dalam
surga yang tinggi, buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan):
"Makan dan minumlah dengan sedap dikarenakan amal-amal yang telah kamu
kerjakan di hari-hari terdahulu (di dunia)." Adapun yang diberikan
kepadanya kitabnya dari arah kirinya, maka dia berkata: "Aduhai,
alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku
tidak mengetahui apa hisab (perhitungan) terhadap diriku. Aduhai,
kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sama
sekali tidak memberi manfaat bagiku. Telah hilang kekuasaan dariku" (QS
Al-Haqqah [69]: 19-29).
Dari mahsyar (tempat berkumpul), manusia menuju surga atau neraka. Beberapa ayat dalam Al-Quran menginformasikan bahwa dalam perjalanan ke sana mereka melalui apa yang dinamai " shirath" .
Antarlah mereka (hai malaikat) menuju Shirath Al-Jahim (QS Al-Shaffat [37]: 23).
Dalam konteks pembicaraan tentang hari akhirat, Allah berfirman:
Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan
penglihatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba (mencari)
ash-shirath (jalan). Maka, bagaimana mereka dapat melihatnya? (QS Ya Sin
[36]: 66).
Di sisi lain Allah menegaskan pula bahwa:
Dan tidak seorang pun di antara kamu kecuali
melewatinya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang
sudah ditetapkan-Nya. Kemudian Kami menyelamatkan orang-orang yang
bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim, di dalam neraka dalam
keadaan berlutut (QS Maryam [19]: 71-72).
Berdasar ayat-ayat tersebut, sementara ulama berpendapat bahwa ada yang dinamai "shirath" -berupa jembatan yang harus dilalui setiap orang menuju surga. Di bawah jalan (jembatan) itu terdapat neraka dengan segala tingkatannya. Orang-orang mukmin akan melewatinya dengan kecepatan sesuai dengan kualitas ketakwaan mereka. Ada yang melewatinya bagaikan kilat, atau seperti angin berhembus, atau secepat lajunya kuda; dan ada juga yang merangkak, tetapi akhirnya tiba juga. Sedangkan orang-orang kafir akan menelusurinya pula tetapi mereka jatuh ke neraka di tingkat yang sesuai dengan kedurhakaan mereka.
Konon shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang,
Demikian kata Abu Sa'id sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Para ulama khususnya kelompok Mu'tazilah yang sangat rasional menolak keberadaan shirath dalam pengertian material di atas, lebih-lebih melukiskannya "dengan sehelai rambut di belah tujuh". Memang, melukiskannya seperti itu, paling tidak, bertentangan dengan pengertian kebahasaan dari kata shirath. Kata tersebut berasal dari kata saratha yang arti harfiahnya adalah "menelan". Kata shirath antara lain diartikan "jalan yang lebar", yang karena lebarnya maka seakan-akan ia menelan setiap yang berjalan di atasnya.
Betapapun, pada akhirnya hanya ada dua tempat, surga atau neraka. Pembahasan tentang surga dan neraka, kita tangguhkan sampai dengan kesempatan lain. Ini disebabkan karena luasnya jangkauan ayat-ayat Al-Quran yang membicarakannya. Bukan saja uraian tentang aneka kenikmatan dan siksanya, tetapi sampai kepada rincian peristiwa-peristiwa yang digambarkan Al-Quran menyangkut perorangan atau kelompok, dan lain sebagainya.
KAPAN HARI AKHIR TIBA
Al-Quran (demikian juga hadis-hadis Nabi saw) yang berbicara panjang
lebar tentang hari akhir dari bermacam-macam aspek itu, tidak
membicarakan sedikit pun tentang masa kedatangannya. Bahkan secara tegas
dalam berbagai ayat serta hadis dinyatakan bahwa tidak seorang pun
mengetahui kapan kehadirannya.
Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu tentang
hari akhir, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan
(waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahan (ketentuan
waktunya). Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut
kepadanya (hari akhir) (QS Al-Nazi'at [79]: 42-45).
Sekian banyak ayat Al-Quran yang mengandung makna serupa, demikian pula hadis-hadis Nabi saw menginformasikannya.
Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa malaikat Jibril pernah bertanya kepada Nabi Muhammad saw (dalam rangka mengajar umat Islam) "Kapan hari kiamat?" Nabi saw menjawab: "Tidaklah yang ditanya tentang hal itu lebih mengetabui dari yang bertanya." (Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi Umar bin Khaththab).
Memang ada beberapa ayat yang menjelaskan bahwa kedatangannya tidak lama lagi. Misalnya surat Al-Isra' ( 17): 51, "Kapankah itu (hari kiamat)?"
Demikian tanya kaum musyrik. Lalu Nabi saw diperintahkan oleh Allah untuk menjawab: Katakanlah, "Boleh jadi ia dekat."
Surat Al-Qamar (54): 1, juga menyatakan bahwa: "Telah dekat hari kiamat dan telah terbelah bulan".
Dan surat Al-Anbiya' (21): 1, menyatakan: "Telah dekat kepada manusia hari perhitungan (kiamat) sedangkan mereka berada dalam kelalaian, lagi berpaling (darinya)."
Nabi saw juga bersabda:
Aku diutus (dan perbandingan antara masa diutusku dengan) hari kiamat adalah seperti ini (sambil menggandengkan kedua jari-jarinya, yaitu jari telunjuk dan tengah). (Diriwayatkan oleh Muslim melalui Jabir bin Abdillah).
Apakah hadis dan ayat-ayat di atas menunjukkan kedekatan hari akhirat dari segi waktu? Boleh jadi. Tetapi ketika itu tidak dapat dipahami bahwa kedekatan itu hanya dalam arti besok, seribu atau sepuluh ribu tahun ke depan. Kedekatannya boleh jadi juga jika dibandingkan dengan umur dunia yang telah berlalu sekian ratus juta tahun. Tetapi boleh jadi juga hadis dan ayat-ayat tersebut tidak menginformasikan kedekatan dalam arti waktu.
Bila kita cermati tentang kapan hari akhir tiba, maka jawaban yang diperintahkan kepada Nabi saw untuk diucapkan adalah "Boleh jadi ia dekat." Di sisi lain, ayat Al-Qamar dan Al-Anbiya' di atas, yang menggunakan bentuk kata kerja masa lampau untuk satu peristiwa kiamat yang belum lagi terjadi, mengandung makna kepastian sehingga kedekatan dalam hal ini dipahami dalam arti "pasti kedatangannya". Karena "segala yang akan datang adalah dekat, dan segala yang telah berlalu dan tidak kembali adalah jauh."
Agaknya informasi Al-Quran tentang kedekatan ini, lebih dimaksudkan untuk menjadikan manusia selalu siap menghadapi kehadirannya. Karena itu pula, tidak satu atau dua ayat yang menegaskan bahwa kedatangannya sangat tiba-tiba, seperti misalnya firman berikut:
Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah
yang meliputi mereka atau kedatangan kiamat kepada mereka secara
tiba-tiba sedangkan mereka tidak menghindarinya? (QS Yusuf [ 12]: 107).
Di sisi lain, ditemukan bahwa yang bertanya tentang waktu kedatangannya adalah orang-orang musyrik, bukan orang beriman.
Orang-orang yang tidak beriman menyangkut hari kiamat,
meminta supaya hari itu segera didatangkan, sedangkan orang-orang yang
beriman merasa takut akan kedatangannya Mereka yakin bahwa kiamat adalah
benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa orang-orang yang membantah
tentang terjadinya kiamat benar-benar dalam kesesatan yang jauh (QS
Al-Syura [42]: 18).
Ketakutan tentang hari kiamat akan mengantarkan orang yang percaya untuk berbuat sebanyak mungkin amal kebaikan di dunia, sehingga mereka dapat menggapai kebahagiaan abadi di sana.
BUAH KEPERCAYAAN TENTANG HARI KEBANGKITAN
Al-Quran menghendaki agar keyakinan akan adanya hari akhir mengantar
manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif dalam kehidupannya,
khususnya banyak melakukan amal kebaikan. Salah satu surat yang
berbicara tentang hal ini adalah surat Al-Ma'un (107).
Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat tersebut turun berkenaan dengan Abu Sufyan atau Abu Jahl, yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir.
Surat Al-Ma'un dimulai dengan satu pertanyaan: Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-din?
Kata ad-din dalam surat ini, secara sangat populer, diartikan dengan agama, tetapi ad-din dapat juga berarti pembalasan. Dengan demikian yukadzdzibu biddin dapat pula berarti mengingkari hari pembalasan atau hari akhir. Pendapat terakhir ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa Al-Quran bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka konteknya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat. Perhatikan surat Al-Infithar (82): 9 dan juga surat Al-Tin (95): 7.
Kemudian, kalau kita kaitkan makna terakhir ini dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya kepada mereka tidak menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan. Bukankah yang percaya meyakini bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, maka pasti ganjaran atau balasan perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak? Bukankah yang percaya hari kemudian meyakini bahwa Allah tidak menyia-nyiakan amal baik seseorang, betapa pun kecilnya?
Seseorang yarlg kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang berada di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran atau pendustaan ad-din, baik dalam arti "agama", lebih-lebih lagi dalam arti hari kemudian.
Ad-din menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib di sini, bukan sekadar kepercayaan kepada Allah atau malaikat tetapi ia berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji-janji Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberi bantuan. Kepercayaan ini mengantarkannya meyakini janji Ilahi itu, melebihi keyakinannya menyangkut segala sesuatu yang didasari oleh perhitungan-perhitungan akalnya semata-mata. Sehingga ketika itu, walaupun akalnya membisikkan bahwa "sikap yang akan diambilnya merugikan/tidak menguntungkan", namun jiwanya yang percaya itu mengantarkannya untuk melakukannya karena yang demikian sejalan dengan keyakinannya itu.
"Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan Anda daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan sendiri."
Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama surat Al-Ma'un ini mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang hari akhir, yang tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata keberagamaannya nihil.
Surat Al-Ma'un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini, berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini sebagaimana tergambar dalam ayat di atas -menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis:
Mungkin ini (jawaban Al-Quran tentang siapa yang mendustakan agama/hari kemudian yang dikemukakan dalam surat ini) mengagetkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional. Tetapi, yang demikian itulah inti persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang diucapkan itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya.
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:
Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang hukum sekitar batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli itu, berkaitan dengan interaksi sosial keagamaan. Sedangkan surat ini (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan kenyataan-kenyataan lahiriah yang menjadi landasan penilaian interaksi antarmanusia.
Demikian surat ini menjelaskan hakikat dan buah kepercayaan tentang hari akhir.
Akhirnya perlu digarisbawahi bahwa perhatian Al-Quran yang sedemikian besar menyangkut persoalan hari akhir, membawa berbagai dampak di kalangan ilmuwan, agamawan, dan filosof. Antara lain berupa kegiatan diskusi yang menyita waktu dan energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah kebangkitan ruh dan jasad atau hanya ruh saja.
Dalam hal ini kita ingin menggarisbawahi bahwa seorang Muslim dituntut oleh agamanya untuk meyakini adanya hari kebangkitan setelah kematiannya di mana ketika itu ia menyadari eksistensi dirinya secara sempurna. Apa pun bentuk kebangkitan tersebut -apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja- yang pokok adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak kurang dari pengenalannya ketika ia hidup di dunia.
Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu dan tempatnya, maka kesemua hal ini berada di luar tuntunan agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan para filosof dan ulama tentang soal tersebut lebih banyak didorong oleh kepentingan kepuasan penalaran akal daripada dorongan kehangatan iman.
Wa Allahu 'Alam.
Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat tersebut turun berkenaan dengan Abu Sufyan atau Abu Jahl, yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir.
Surat Al-Ma'un dimulai dengan satu pertanyaan: Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-din?
Kata ad-din dalam surat ini, secara sangat populer, diartikan dengan agama, tetapi ad-din dapat juga berarti pembalasan. Dengan demikian yukadzdzibu biddin dapat pula berarti mengingkari hari pembalasan atau hari akhir. Pendapat terakhir ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa Al-Quran bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka konteknya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat. Perhatikan surat Al-Infithar (82): 9 dan juga surat Al-Tin (95): 7.
Kemudian, kalau kita kaitkan makna terakhir ini dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya kepada mereka tidak menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan. Bukankah yang percaya meyakini bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, maka pasti ganjaran atau balasan perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak? Bukankah yang percaya hari kemudian meyakini bahwa Allah tidak menyia-nyiakan amal baik seseorang, betapa pun kecilnya?
Seseorang yarlg kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang berada di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran atau pendustaan ad-din, baik dalam arti "agama", lebih-lebih lagi dalam arti hari kemudian.
Ad-din menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib di sini, bukan sekadar kepercayaan kepada Allah atau malaikat tetapi ia berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji-janji Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberi bantuan. Kepercayaan ini mengantarkannya meyakini janji Ilahi itu, melebihi keyakinannya menyangkut segala sesuatu yang didasari oleh perhitungan-perhitungan akalnya semata-mata. Sehingga ketika itu, walaupun akalnya membisikkan bahwa "sikap yang akan diambilnya merugikan/tidak menguntungkan", namun jiwanya yang percaya itu mengantarkannya untuk melakukannya karena yang demikian sejalan dengan keyakinannya itu.
"Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan Anda daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan sendiri."
Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama surat Al-Ma'un ini mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang hari akhir, yang tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata keberagamaannya nihil.
Surat Al-Ma'un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini, berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini sebagaimana tergambar dalam ayat di atas -menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis:
Mungkin ini (jawaban Al-Quran tentang siapa yang mendustakan agama/hari kemudian yang dikemukakan dalam surat ini) mengagetkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional. Tetapi, yang demikian itulah inti persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang diucapkan itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya.
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:
Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang hukum sekitar batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli itu, berkaitan dengan interaksi sosial keagamaan. Sedangkan surat ini (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan kenyataan-kenyataan lahiriah yang menjadi landasan penilaian interaksi antarmanusia.
Demikian surat ini menjelaskan hakikat dan buah kepercayaan tentang hari akhir.
Akhirnya perlu digarisbawahi bahwa perhatian Al-Quran yang sedemikian besar menyangkut persoalan hari akhir, membawa berbagai dampak di kalangan ilmuwan, agamawan, dan filosof. Antara lain berupa kegiatan diskusi yang menyita waktu dan energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah kebangkitan ruh dan jasad atau hanya ruh saja.
Dalam hal ini kita ingin menggarisbawahi bahwa seorang Muslim dituntut oleh agamanya untuk meyakini adanya hari kebangkitan setelah kematiannya di mana ketika itu ia menyadari eksistensi dirinya secara sempurna. Apa pun bentuk kebangkitan tersebut -apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja- yang pokok adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak kurang dari pengenalannya ketika ia hidup di dunia.
Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu dan tempatnya, maka kesemua hal ini berada di luar tuntunan agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan para filosof dan ulama tentang soal tersebut lebih banyak didorong oleh kepentingan kepuasan penalaran akal daripada dorongan kehangatan iman.
Wa Allahu 'Alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar