Kaedah Fiqih (4): Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan
Kaedah Fiqih (4): Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan
Di antara kaedah fikih yang bermanfaat adalah bagaimana kita memilih jika ada dua mafsadat atau keburukan bertemu dalam satu waktu, manakah yang mesti didahulukan sebagaimana sebelumnya telah dibahas mengenai maslahat yang bertabrakan.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,
وَضِدُّ تَزَاحُمُ المفَاسِدِ
يُرْتَكَبُ الأَدْنَى مِنَ المفَاسِدِ
Lawannya, jika bertabakan dua mafsadat,
Pilihlah mafsadat yang paling ringan
Kaedah fikih ini adalah kebalikan dari kaedah sebelumnya (kaedah
fikih: ketika dua maslahat bertabarakan). Jika seseorang tidak dapat
meninggalkan dua mafsadat (kerusakan) sekaligus, ia hanya mampu
meninggalkan salah satunya namun tetap melakukan mafsadat yang lain,
maka ketika itu, ia hendaklah memilih mafsadat (bahaya) yang lebih
ringan agar tidak terjerumus dalam mafsadat yang lebih besar.
Di antara dalil kaedah di atas,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).
Di sini nampak ada dua mafsadat. Mafsadat pertama, diri bisa binasa
(mati). Mafsadat kedua, memakan bangkai. Ketika bertabrakan dua mafsadat
semacam ini, maka yang ditinggalkan adalah maslahat yang lebih besar
dan memilih mafsadat lebih ringan yaitu memakan bangkai.
Mafsadat ada yang haram, ada yang makruh. Ada mafsadat yang besar dan
ada mafsadat yang kecil. Maka yang dipilih adalah mafsadat yang lebih
ringan demi menjauhi mafsadat yang lebih besar.
Beberapa kaedah turunan dari kaedah di atas:
1- Kaedah:
الضرر لا يزال بالضرر
“Kerusakan tidak bisa dihilangkan dengan kerusakan”
Di antara contoh kaedah:
Barangsiapa yang terpaksa dalam keadaan darurat mengambil harta orang
lain seperti makanan, ia boleh memanfaatkannya tanpa izin atau ridho
pemiliknya. Akan tetapi jika si pemilik malah mendapatkan dhoror
(bahaya), maka tidak dibolehkan karena ‘tidak boleh menghilangkan dhoror dengan mendatangkan dhoror lainnya’.
2- Kaedah:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghilangkan mafsadat lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.”
Di antara contoh kaedah:
Jika ada hewan yang haram dimakan (contoh: keledai jinak) dikawinkan
silang dengan hewan yang halal dimakan (contoh: kuda), maka keturunannya
haram dimakan karena menghilangkan mafsadat lebih didahulukan daripada
mengambil manfaat.
Catatan: Kaedah ini berlaku jika mafsadat dan
maslahat itu sama. Jika maslahat malah lebih besar dari mafsadat, maka
tetap didahulukan maslahat. Lihat kaedah selanjutnya.
3- Kaedah: Jika ada maslahat yang lebih besar namun
ada mafsadat ketika itu, maka tetap ketika itu memilih maslahat walau
dengan menerjang mafsadat.
Di antara contoh kaedah:
Ada orang sakit yang tidak mampu berwudhu atau tidak mendapati air,
begitu pula debu. Mafsadat yang akan diperoleh adalah shalat tanpa
thoharoh atau bersuci. Namun ada maslahat yaitu mengerjakan shalat.
Manakah yang didahulukan? Apakah ia meninggalkan shalat atau
meninggalkan bersuci? Jawabannya, tetap ia shalat walau tidak dalam
keadaan thoharoh (bersuci).
Taat pada pemerintah yang zholim. Taat kepada pemimpin yang zholim
tentu suatu mafsadat. Namun ada maslahat yang lebih besar yaitu
bersatunya umat. Maslahat ini lebih besar dari mafsadat, maka
didahulukanlah maslahat tersebut. Maka pemerintah yang zholim tetap
ditaati karena maslahat yang lebih besar di balik itu dan mafsadat yang
ada itu ringan.
Penjelasan kaedah di atas disarikan dari penjelasan guru kami, Syaikh
Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri -semoga Allah senantiasa menjaga beliau-
dalam kitab beliau, Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah.
Moga kaedah fikih di atas menjadi ilmu yang bermanfaat. Semoga Allah
senantiasa memberi kita keistiqomahan dalam mengkaji ilmu-ilmu islam. Wallahu waliyyut taufiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar