Hadis ini dicantumkan oleh Ibn Rajab al-Hanbali dalam
kitabnya Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hadis ke-47, melengkapi Arba’un
an-Nawawiyah menjadi 50 hadis. At-Tirmidzi meriwayatkan hadis ini di dalam as-Sunan
pada bab Ma Ja’ a fi Karahiyati Katsrah al-Akli (Riwayat Tentang Kemakruhan Banyak
Makan). At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan shalih”.
Ibn Majah meriwayatkan hadis ini dalam as-Sunan pada bab
al-Iqtishab fi al-Akli wa Karahiyati asy-Syiba’ (Sederhana dalam makan dan Kemakruhan
Kenyang).
Hadis ini merupakan salah satu pokok adab dalam makan. Hadis
ini secara garis besar memberikan tiga pelajaran,
Pertama: Rasul saw menyatakan, “Tidaklah anak Adam memenuhi
wadah yang lebih buruk dari perut.” Rasul saw menyerupakan perut sebagai wi’ a’un,
yaitu tempat meletakkan sesuatu. Seburuk-buruk wadah yang dipenuhi adalah
perut. Sebab dalam hal itu ada at-tukhmah (pencernaan yang buruk) dan menjadi
sebab terjadinya bermacam penyakit; juga karena mewariskan kemalasan, lemah dan
ingin rehat terus. Pengarang Bariqah Mahmudiyyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyya
wa Syari’ah Nabawiyyah menjelaskan “Rasul menjadikan perut seburuk-buruk wadah
sebab sering digunakan pada yang tidak seharusnya untuknya. Perut diciptakan
untuk menguatkan punggung dengan makanan, sementara memenuhi perut akan menyebabkan
kerusakan agama dan dunia sehingga menjadi keburukan. Kenyang itu (bisa)
menyimpangkan dari kebenaran, didominasi oleh kemalasan sehingga menghalangi
pemiliknya dari beribadah, memperbanyak materi-materi yang lebih, banyak
kemarahan, syahwatnya dan ambisinya meningkat sehingga menjerumuskan dirinya
mencari apa yang melebihi kebutuhan.”
Kedua, Rasul saw, menyatakan, “Cukuplah untuk anak Adam
sekadar makanan yang menegakkan tulang punggungnya.” Penyebutan tulang punggung
menggunakan uslub menyebut sebagian yang dimaksudkan keseluruhan. Jadi, yang
dimaksudkan adalah punggung seluruhnya atau lebiuh umum lagi seluruh badan,
sebab punggung adalah penopang badan.
Dalam hadis ini, Rasul saw menganjurkan untuk sedikit makan,
yakni makan sekadarnya saja untuk bisa menopang badan agar tetap bisa tegak dan
melakukan aktivitas yang diperintahkan syariah. Anjuran ini juga tampak dalam
redaksi Ibn Majah yang menggunakan kata “luqaymat” yang merupakan kata plural
dengan bentuk isim tashghir dari luqmatun. Makna sabda Rasul saw itu, bahwa
cukuplah untuk anak Adam makanan yang dengan itu ia tetap hidup sehat untuk
menjalankan aktivitas ketaatan. Itulah makna sabda beliau “yuqimna shulbahu (menegakkan
tulang punggungnya).” Yang demikian itu merupakan dorongan agar sedikit makan
dan tidak banyak makan. Dengan begitu manusia itu ringan, tangkas, giat dan
selamat dari bermacam penyakit yang muncul dari banyak makan.
Ketiga: Rasul saw menyatakan, “Jika harus lebih dari itu
maka sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga untuk udara.”
Maksudnya, jika orang tidak cukup dengan makanan yang cukup menegakkan
punggungnya dan harus tambah dari kadar itu maka hendaklah ia mengisi sepertiga
perutnya dengan makanan, sepertiganya dengan minuman dan sepertiganya untuk
udara yang memungkinkan dirinya bernafas dengan mudah.
Kenyang hukumnya mubah. Dalam beberapa riwayat, Rasul saw
pernah makan hingga kenyang dan membiarkan para sahabat makan hingga kenyang. Namun,
bagi Rasul saw dan para sahabat, kenyang tidak menjadi kebiasaan. Mereka sering
tidak sampai kenyang, meski juga tidak kelaparan.
Anjuran Rasul saw dalam hadis ini ada dua tingkat:
1. Agar makan sekadarnya saja yang membuat punggung tetap
tegak, sanggup bahkan giat melaksanakan aktivitas dan ketaatan serta ibadah;
2. Jika ingin lebih dari itu maka hendaklah makanan hanya
mengisi sepertiga perut, minum sepertiganya dan sepertiga lainnya untuk udara. Kadar
ini tidak sampai kenyang apalagi kekenyangan. Seperti itulah yang menjadi laku
para sahabat dan para ulama panutan umat.
Manfaat dari anjuran Rasul saw ini sangat besar terhadap
fisik dan hati. Terhadap fisik, pola makan seperti itu menyehatkan. Terhadap hati,
hal itu akan membuat hati baik. Sedikit makan melembutkan hati, menguatkan
pemahaman, melemahkan hawa nafsu dan amarah. Sebaliknya, banyak makan
mendatangkan hal kebalikannya.
Rasul saw, keluarga beliau, para sahabat dan para ulama
memberikan contoh hidup bagaimana mereka sedikit makan. Imam al Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari Aisyah ra, yang menuturkan bahwa sejak tiba di
Madinah, keluarga Muhammad tidak pernah merasakan kenyang dengan roti gandum
selama tiga hari berturut-turut sampai Rasul saw wafat. Ada juga riwayat serupa
dari Abu Hurairah.
Para ulama panutan umat pun menempuh laku seperti itu,
menghindari kenyang meski mubah dan dari yang halal. Mereka lebih memilih makan
sekadarnya saja. Abu Nu’aim menuturkan dalam Hilyah al-Awliya’ bahwa Imam
asy-Syafii berkata, “Aku tidak merasakan kenyang sejak enam belas tahun lalu
kecuali kenyang yang aku jauhi, sebab kenyang itu memberatkan badan,
menghilangkan kecerdasan, mendatangkan tidur dan melemahkan orang yang kenyang
itu dari ibadah.”
Allahumma waffiqna ila ma tardha